“Connecting People to Nature” merupakan tema sentral yang dicetuskan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), sebuah badan internasional yang bernaung di bawah PBB, untuk Hari Lingkungan Sedunia, 5 Juni 2017.
Manusia tak dapat dipisahkan keberadaannya dengan alam semesta. Kehidupan manusia senantiasa bergantung kepada alam. Bilamana ekosistem alam terdegradasi maka potensi ancaman keberlangsungan hidup umat manusia pun bakal terganggu.
Tujuh miliar manusia lewat berbagai impiannya menghuni satu bumi. Bumi menjadi satu-satunya planet yang dapat dihuni oleh manusia. Lewat pertumbuhan penduduk yang melaju sesuai deret ukur bakal membuat ekosistem menjadi kian kritis bilamana tidak dibarengi dengan kepedulian guna terus menjaga kelestarian alam.
Hal ini merupakan peringatan dini menjelang tahun 2050 yang diprediksikan penghuni planet bumi akan menginjak 7 miliar jiwa. Bilamana manusia masih mempertahankan pola konsumsi yang serupa seperti kiwari, maka dibutuhkan tiga bumi guna dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan penduduk dunia.
Oleh karena itu maka dibutuhkan perubahan untuk mengubah pola konsumsi yang lebih berorientasi kepada lingkungan dan pertumbuhan berkelanjutan. Wariskan kelestarian alam sebagai warisan bagi anak cucu kita bukan warisan nenek moyang.
Presiden RI, Joko Widodo, dalam Gerakan Nasional Penyelematan Tumbuhan dan Satwa Liar di Kepulauan Seribu, Jakarta, 14 April 2016, telah menekankan bahwasanya terdapat dua hal yang penting diwariskan kepada anak cucu kita yaitu ilmu pengetahuan dan kelestarian alam. Indonesia dipandang sebagai paru-paru dunia sehingga kelestarian alam bumi bergantung kepada Indonesia.
Konservasi alam bukan hanya sebatas melakukan penanaman pohon namun juga wajib memperhatikan satwa dan ekosistem yang ada di dalamnya. Untuk menunjang keberhasilan ini dibutuhkan komitmen, kerja keras, dan keberlanjutan gerakan penyelamatan alam yang solutif dan terukur hasilnya.
* Tindakan Nyata *
Hari Lingkungan Hidup sedunia sendiri diputuskan dalam sidang umum PBB bersamaan dengan konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia, 5-16 Juni 1972. Momentum ini ditujukan guna meningkatkan kesadaran global terhadap urgensi untuk mengambil tindakan yang positif bagi kelestarian lingkungan.
Disadari bahwa problema lingkungan di sebuah negara bakal menimbulkan efek domino di negara atau wilayah lain.
Salah satu kerusakan lingkungan yang wajib fokus diantisipasi adalah perubahan iklim. Hal terakhir ini akibat pemanasan global telah memberi berbagai dampak terhadap kehidupan. Gejala ini ditandai antara lain dengan meningkatnya frekuensi curah hujan dengan intensitas yang sangat tinggi, ketidakpastian musim hujan dan kemarau, serta timbulnya berbagai bencana, seperti kekeringan, banjir, badai, maupun longsor.
Pemerintah kita tak tinggal diam dengan hal di atas. Telah ditelurkan berbagai kebijakan, seperti target penurunan emisi dari kondisi business as usual di tahun 2020 sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 41% lewat dukungan negara lain. Oleh karena itu dikembangkan berbagai instrumen kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim antara lain melalui Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca dan Peraturan Presiden No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Kaca Nasional yang sejalan dengan UU. No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tepatlah apa yang dikemukakan oleh Thomas Friedman dalam Hot, Flat, and Crowded bahwa dunia bakal lebih panas, rata, dan penuh sesak. Penulis yang juga pernah melucurkan karya fenomenal The World is Flat tersebut, melansir bumi kian gerah akibat laju peningkatan emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang menghambat pelepasan udara panas ke angkasa. Bumi menjadi rata via inovasi teknologi komunikasi yang memungkinkan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun dapat terkoneksi secara cepat dan mudah,sehingga seolah-olah bumi ibarat berada di atas sebuah pinggan yang datar. Sebaliknya bumi pun makin penuh sesak diakibatkan ledakan pertambahan penduduk yang tak terkendali lewat penekanan angka mortalitas.
Terkoneksi dengan alam merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi negeri zamrud khatulistiwa sebagai negara dengan 13.466 pulau dan panjang pesisir mencapai 95,181 km, tempat bermukim 60% penduduk serta menyumbang 6,45% GDP nasional.
Pesisir pantai pun, mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat menakjubkan yakni 14% terumbu karang dunia, 27% mangrove dunia, serta 25% ikan dunia, dengan berbagai biota laut yang hidup di dalamnya. Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai marine mega biodiversity terbesar di dunia lewat kekayaan laut yang mencakup 8500 species ikan, 555 jenis rumput laut, dan 950 macam biota terumbu karang.
Tentunya potensi yang luar biasa ini harus dikelola secara optimal bagi kemakmuran rakyat dengan cara yang lestari serta terus dilindungi dari kerusakan lingkungan yang mereduksi potensinya.
Sudah tiba saatnya kita untuk berhenti berwacana dan menempuh langkah konkret mengubah gaya hidup demi penyelamatan alam hal mana dapat dimulai dari diri sendiri, dari hal terkecil, dan dilakukan sekarang.
Beberapa upaya konkret dapat kita lakukan, antara lain 3R (reduce, reuse, recycle), menanam tanaman makanan di halaman rumah, atau memilih makanan organik yang tidak menggunakan bahan kimia. Jika kita tidak mau berubah maka alam yang akan mengubah kita. Alam mulai tidak lagi bersahabat dengan kita. Selamatkan alam dan jadikan setiap hari sebagai hari kepedulian menjaga kelestarian alam.
******